Selasa, 16 September 2014

Mengurai Simpul Di Puncak Sang Dewi (Rinjani)

  • Awal Pendakian 
Hari ini benar-benar serasa bagaikan mimpi, menapaki jalan yang seolah tak ada ujungnya dijalur pendakian menuju Gunung Rinjani. Deru angin dan gugusan awan yang berarak seolah menemani langkah-langkah kaki kami yang akan memulai petualangan melewati padang savana yang terlihat bagaikan hamparan karpet hijau sejauh mata memandang. Sementara dikejauhan sana, Gunung Rinjani (3726 Mdpl) tampak kokoh berdiri dan menjulang tinggi sepanjang setengah dari utara Lombok. Puncak tertinggi Lombok (Gunung berapi tertinggi  kedua di Indonesia) itulah tujuan langkah kaki kami.



Pintu Sembalun (Bawaq Nao),,
Desa sembalun merupakan salah satu pintu masuk ke Taman Nasional Gunung Rinjani. Selama perjalanan menuju desa sembalun mata ini selalu saja terbius oleh pemandangan yang terbentang didepan mata, meski ini bukan perjalanan pertama kami melewati desa sembalun namun pemandangan alamnya selalu saja membuat terpesona. Desa (lembah) sembalun saat dilihat dari pusuk (gerbang desa sembalun) seolah bagaikan petak-petak dalam lukisan yang sangat memukau. Setelah berhenti sebentar di basecamp sembalun untuk membeli karcis masuk pengunjung ke Taman Nasional Gunung Rinjani, truk pasir yang kami tumpangi dari desa aikmel langsung mengantar kami menuju desa bawaq nao yang juga merupakan salah satu jalur alternatif pendakian menuju Gunung Rinjani.
Pagi itu kami tidak langsung mendaki, karena ketiga teman ku harus shalat jum’at terlebih dahulu. Selama menunggu mereka jum’atan ada keresahan dalam hati ku karena diarah barat (jalur yang akan kami tuju) awan mendung seolah enggan berlalu. Namun akhirnya keresahan dan kekhawatiran itu terjawab dengan kelegaan karena ada rombongan pendaki yang baru turun mengatakan bahwa cuaca diatas sangat bagus meski dari bawah terlihat mendung tebal. Bahkan jadi semakin bersemangat karena sempat bertemu dan berbincang-bincang dengan salah satu pendaki dari pulau jawa, anggota rombongan komunitas gembel alas dari lereng semeru.
Bayangkan saja umur 65 tahun masih memiliki semangat luar biasa tuk mendaki cara mendakinya pun unik, jalan mundur pas mendaki dan turun, tapi ada dua spion besar yang dipasang di kiri kanan lengannya sebagai mata kedua. Luar biasa, senyum dan tawa mereka yang telah berhasil mencapai tujuan seolah terus terbayang dan bergema dalam ingatan ku selama di perjalanan menapaki jalur pendakian. Apalagi saat itu kami juga berangkat bersama belasan pendaki lain yang super heboh dan lucu-lucu.
Pukul 14.10 setelah berdoa bersama, akhirnya benar-benar berangkat menuju tujuan yang selama ini selalu ku impikan. Meskipun sebenarnya diantara kami berempat hanya aku yang belum pernah menjejakkan kaki di Rinjani. Beruntung cuaca agak mendung jadi sengatan matahari tidak terlalu terasa, dan karena kami berangkat hampir sore jadi mau tidak mau harus berjalan agak ekstra cepat agar bisa sampai di pos 3 sebelum magrib. Hal-hal lucu yang akan senantiasa terekam dalam memori kami berempat pun dimulai sejak tiba di bukit sapi, Yup begitulah kami berempat menyebutnya karena disepanjang bukit ini sapi-sapi warga sekitar desa bawaq nao berkeliaran dan merumput dengan bebas tanpa diikat. Insiden kecil pun terjadi disini, kostum lengkap (jaket, syal, kaus kaki, kuncung dan slayer) yang ku pakai dari bawaq nao harus dilucuti hingga yang tersisa hanya kaos lengan panjang. Soalnya gerahnya luar biasa padahal sejak diam menunggu di bawaq nao badan serasa hampir menggigil kedinginan.

Sesaat setelah "pelucutan" atribut ku
Mulai mendaki anak bukit pertama hampir saja badan ini KO dan menyerah begitu saja, padahal medannya belum apa-apa jika dibandingkan dengan bukit-bukit terjal yang kami lewati selanjutnya. Oksigen yang terhirup malah terasa menyesakkan, pusing tiba-tiba menyerang ku bahkan pendengaran ini pun seolah benar-benar sunyi. Sapaan dari pendaki lain yang melintas di depan ku yang terduduk lemas ditengah jalan hanya ku balas dengan anggukan lemah, sementara ketiga teman ku yang lebih dulu sampai diatas bukit itu meminta ku tetap jalan pelan-pelan dan segera menyingkir karena ada seekor sapi yang hendak turun. Tetapi lagi-lagi ku diamkan karena sibuk perang batin, antara tetap ngotot melanjutkan perjalanan atau memilih pulang sendirian. 
Aku tak ingin menyerah, perjalanan ini harus tetap ku lanjutkan karena seandainya saat ini aku menyerah maka tak akan ada lagi kesempatan dan izin yang sudah susah payah ku dapatkan tuk mendaki Rinjani, kata-kata yang terus terngiang dalam pikiranku waktu itu. Dan tepat saat kembali melihat keatas, tempat dimana ketiga temanku menunggu sambil terus memberikan semangat dan memintaku untuk segera menyingkir, ternyata jarak ku dengan sapi itu hanya 2 meter. Meski terdengar konyol, tapi gara-gara tatapan mata sapi itu yang bagiku terlihat seperti tatapan kasihan aku seolah mendapat kekuatan lagi tuk menuntaskan tanjakan bukit yang tinggal sepertiga.

Ekspresi mengenaskan saat di bukit pertama
Kak Aziz benar-benar membuatku keki karna malu saat tiba diatas bukit, gara-gara ekspresi mengenaskanku dia abadikan dalam beberapa jepretan di HP nya. hehe... apalagi saat itu adik Yusron juga terlihat sangat bersemangat merekam setiap ekspresiku dan akhirnya selalu menjadi bahan lelucon tuk meledekku selama kami berpetualang di alam Rinjani. Kak Sahid?? haha dia mah cuma senyam-senyum doank.
Hanya 5 menit saja aku diberikan keleluasaan tuk bermanja-manja berselonjor kaki, karena setelah itu Kak Aziz meminta kami segera berkemas dan kembali melanjutkan perjalanan. Mulai memasuki hutan, yang akan membawa kami melewati padang savana nan eksotis. Diseparuh perjalanan melewati hutan, lagi-lagi aku macet karena merasa sangat tidak nyaman berjalan dengan sendal "eiger" kebanggaan. Sehingga otomatis dari hutan itulah ku tinggalkan jejak-jejak kaki tanpa menggunakan alas kaki, hingga nun jauh diatas (pos 3), dan didalam hutan ini pula ku temukan sebuah kayu kecil nan cungkring (layaknya badanku) ehee.. dan ku jadikan sebagai tongkat yang selalu menemani langkahku, bahkan ketika melewati jalan ekstrim saat menuju puncak Sang Dewi (Rinjani) .
Lagu penuh muatan semangat dari Nidji yang menjadi OST Film 5 cm (Diatas Awan) mengalun indah dari HP kak Aziz, berpadu dengan suara nyanyian alam yang bergesek diantara rimbun nya pohon-pohon di hutan yang kami lalui. Film yang membuat mimpiku kembali menyeruak keluar, mimpi tuk menjejakkan kaki di Puncak Tertinggi Lombok.
Setelah berjalan hampir sekitar 15 menit, akhirnya kami sampai juga diujung hutan. Subhanallah, aku terpaku, hamparan padang savana laksana Bukit Teletubbis terbentang sejauh mata memandang.

Perjalanan Menuju Pos 1


Jarak dari hutan hingga pos 1 sekitar 30 menit. Disepanjang kiri-kanan jalan yang kami lewati penuh dengan padang ilalang setinggi pinggang, bagaikan jutaan rajutan yang menari-nari saat tertiup angin. Sampai di Pos 1 keadaannya masih sepi, hanya ada beberapa pendaki yang sedang istirahat disana. Namun tak lama kemudian keadaannya menjadi sangat ricuh ketika "genk salam" tiba. Kami berempat kompak menyebut mereka seperti itu karena tiap kali berpapasan  Celoteh riang mereka seakan tak pernah ada habisnya, di sela aksi jeprat-jepret yang mereka lakukan didekat seorang bapak penjual minuman yang ada disana. 
Sama seperti sebelumnya, kami hanya istirahat selama 5 menit. Karena sesuai rencana harus tiba di Pos 3 sebelum magrib. Saat di perjalanan menuju pos 2 kaki ku sempat mengalami kram. Saat itu panik menyerang ku, karena jari kaki kananku sempurna tertekuk. Beruntung kak Aziz yang berada di belakang ku segera beraksi menolong ku. hehe. Perjalanan dari Pos 1 ke Pos 2 kami tempuh dalam waktu sekitar 45 menit, suasana di sekitar Pos 2 lebih ramai jika dibandingkan dengan saat di Pos 1 tadi. Tapi kalau didalam pos nya benar-benar sangat sepi, ada sensasi "lain" yang tiba-tiba mengusik perasaan ku. Namun untung saja kak Aziz selaku ketua rombongan mengajak kami bertiga tuk tidak berlama-lama di pos 2. (Ah gara-gara cerita seram adik yusron sih,, hee)


Pose adik Yusron di Pos 2

Matahari semakin condong kearah barat, namun perjalanan kami masih sangat panjang. Meski tenaga ku mulai melemah, namun semangat tuk segera tiba dan beristirahat di pos 3 membuatku tetap tak menyerah. Lagi-lagi kami berempat bertemu lagi dengan "genk salam" juga 3 orang pendaki dari jakarta, tapi sayang sekali meski kami selalu bertemu bahkan sempat berpoto bareng saat berada di puncak tetapi nama mereka tak sempat melekat dalam ingatanku. Beda halnya dengan "anak-anak jakarta" itu, akhirnya simpul pertemanan itu terjalin juga diantara kami. Namun "genk salam" juga tetap menjadi teman seperjalanan yang istimewa bagi kami. 

Jalan menuju pos 3 mulai melewati medan berbatu yang agak licin, jadi harus benar-benar hati. Tapi lagi-lagi aku memilih tidak menggunakan sendal atau sepatuku, karena merasa lebih nyaman berjalan tanpa alas kaki. Meski terkadang aku harus menjerit kaget ketika batu-batu kerikil yang agak tajam menusuk telapak kakiku. 

Saat malam mulai menyapa akhirnya kami tiba juga di pos 3, dan tak ada kompromi kak Aziz, langsung meminta kami bertiga tuk segera membongkar isi carier dan langsung mendirikan tenda. Pos 3 sangat ramai oleh tenda para pendaki yang menginap.  
Udara malam benar-benar sangat dingin, rasa letih dan mengantuk membuat kami memutuskan tuk segera masuk ke kantong tidur masing-masing setelah shalat isya, meski pemandangan malam itu sangat luar biasa indah. Walau faktanya aku tak sepenuhnya bisa terlelap sepanjang malam. 



  • Bukit Penyesalan
  • Begitu pagi datang, kesibukan kembali terjadi, selesai shalat subuh langsung berbagi tugas. aku dan kak Aziz tetap di tenda tuk menyiapkan sarapan sementara kak Sahid dan adik Yusron pergi mencari air minum. Dan tak lama setelah urusan isi amunisi perut selesai, kami segera membongkar tenda dan packing. 

    Siap-siap berangkat ke Pelawangan, ada "genk salam" dibelakang

    Padahal masih pagi, tetapi sengatan matahari sangat terasa panas. Soalnya pepohonan sangat jarang. Selesai berdoa bersama, perjalanan di hari kedua mulai berlanjut, dan kali ini medannya sudah mulai menanjak terus hingga ke Pelawangan. Selama perjalanan kak Aziz tak henti-hentinya menasehati ku supaya tidak terlalu banyak minum supaya perut tidak terasa berat saat berjalan. Sehingga selama perjalanan berpetualang di alam Rinjani, aku hanya minum menggunakan tutup botol mineral yang kami bawa. Maklum, hanya aku satu-satu nya yang belum pernah menjejakkan kaki di Rinjani, sekaligus cewek satu-satunya dalam rombongan ini. Begitu juga saat istirahat, kami istirahat paling lama sekitar 5 menit, itupun nggak diperbolehkan duduk. 

    Shelter pos 3

    Meskipun hawa terasa dingin, namun sengatan matahari tetap saja terasa membakar kulit. Darikejauhan debu yang beterbangan sangat jelas terlihat, apalagi saat itu memang sudah memasuki musim kemarau. Terlebih lagi karena ada acara Lomba Maraton Rinjani yang diramaikan oleh para peserta yang tidak hanya merupakan peserta lokal, tetapi para peserta dari berbagai negara juga ikut meramaikan acara prestisius tersebut. Melihat bukit-bukit terjal didepan mata, sempat membuat nyaliku ciut. Khawatir kalau-kalau insiden seperti di bukit pertama terulang lagi. Terik matahari terasa sangat menyengat, maklum saja pepohonan sudah sangat jarang. Sehingga kami memutuskan tuk segera bergegas melanjutkan perjalanan. Kembali menjadi bukit-bukit terjal, yang terkadang membuatku sesekali minta istirahat. Namun, kak Aziz dengan sabar selalu memintaku tuk terus berjalan, meski pelan-pelan. 

    Deru angin laksana tumpahan hujan deras sangat jelas terdengar, saat kami mulai melewati perbukitan terjal yang dipenuhi oleh pohon cemara yang menjulang tinggi. Itulah kawasan Cemara Siu (cemara seribu) meski saat ini kondisinya tak se-lebat dahulu, seperti yang diungkapkan oleh kak Aziz. Dan konon, menurut para tetua di desaku jika sudah memasuki kawasan cemara siu kita benar-benar harus membersihkan niat kita. Sebisa mungkin menjaga hati dan lisan dari niat ataupun perkataan yang tidak baik.

                              Akhirnya bisa berselonjor, meski cuma beberapa menit

    Saat istirahat di kawasan cemara siu, kak Sahid terpaksa melepas sepatu yang ia kenakan sejak dari pos 3 karena salah satu jari kaki nya lecet. Dia akhirnya memutuskan tuk menggunakan sandal jepit, sementara aku masih setia memilih tanpa ber-alas kaki. Saat itu aku tersadar kalau tak ada satu pun diantara kami berempat yang membawa obat merah, namun syukurlah kak Sahid masih bisa menuntaskan perjalanan hingga ke puncak Sang Dewi. Bahkan dia hampir melupakan lukanya saat kami bercengkrama dengan Danau Segara Anak dihari berikutnya.
    Setelah meninggalkan cemara siu, aku mulai nyinyir bertanya tentang keberadaan Pelawangan. Berapa lama lagi jarak yang harus kami tempuh, bahkan meminta waktu tuk istirahat lagi. Dengan sabar kak Aziz menjelaskan padaku kalau tak lama lagi kami akan sampai. Aku manyun, karena sudah mulai hafal dengan ungkapan nya. Bilangnya udah dekat atau tinggal satu bukit lagi, tapi kenyataannya beeuhhhh masih jauhhhh cuy. Tapi mereka bertiga malah tergelak, seolah ekspresiku menjadi hiburan bagi mereka. Apalagi saat itu wajahku penuh cemong oleh debu, masker yang ku bawa sama sekali tidak ku pakai. Karena alih-alih terlindung debu, yang ada aku malah merasa kesulitan bernafas. Sehingga maskerku hanya terikat manis di pergelangan tangan ku. Sempurna ! adik Yusron puas mengolok-olok tampilanku saat itu. Namun aku malah sangat menikmatinya, karena dengan begitu perhatianku dengan bukit-bukit yang tak ada habisnya menjadi ter-alihkan.

    “Jangan terlalu banyak minum!”
    “Jangan terlalu lama berhenti !” adalah kata-kata larangan yang selalu saja meluncur dari bibir kak Aziz, tiap kali langkah kakiku mulai tersendat. Ah jika saja perjalanan kali ini bukan menuju tempat yang selama ini ku impikan, mungkin saja kata-katanya akan ku abaikan. Ehee.. Tapi aku tak mau mengambil resiko. Bukankah beban yang mereka bertiga bawa jauh lebih berat dari yang ku bawa? Aku berusaha menuruti kata-kata kak Aziz, meski terkadang diam-diam ikut mencuri kesempatan tuk berhenti bareng adik Yusron yang juga terlihat kepayahan. :D
    Kakiku yang tidak beralas tampak cemong oleh debu yang menempel, entahla bagaimana dengan wajahku saat itu. Sudah tak ku pedulikan lagi, yang ada di otakku saat itu hanya ingin segera tiba di Pelawangan. Sehingga bisa segera berbaring, dan minum sepuas hati, syukur-syukur bisa mandi di mata air yang ada disana.
    “Setelah ini jangan melihat keatas, apalagi menengok kebelakang Cumeh. Kamu fokus saja pada langkah kaki mu, karena saat ini kita sudah sampai di BUKIT PENYESALAN.” Seru kak Aziz saat itu, padahal tanpa diminta pun aku sudah memutuskan tuk tidak melakukan kedua hal itu, ehee..
    Yup.. Bukit Penyesalan adalah bukit yang telah siap menyambut kedatangan kami pada pendakian dihari kedua. Walaupun boleh dikatakan jalurnya lebih landai jika dibandingkan dengan Bukit Penyiksaan, tapi jarak tempuhnya huuhhh sangat lah panjang. Kalau melihat keatas (jalur yang akan dilewati) dengan bukit-bukit terjal yang menanti, semangat langsung ciut, kalau mau kembali lagi sudah sangat jauh. Itulah sebabnya sehingga dikatakan Bukit Penyesalan. Tetapi pemandangannya benar-benar sangat luar biasa, meski dikiri-kanan tebing-tebing curam tak memberikan ampunan jika salah berpijak.

                       Jalan Full tanjakan dan Debu

    Gerah, dan letih mulai mendera, saat bukit yang kami lewati terus saja menanjak, seakan-akan nggak ada habisnya. Aku malas melihat keatas karena hanya akan membuat semangat ku menguap. Namun aku sangat beruntung, karena ketiga temanku yang notabene lelaki semua selalu punya cara tersendiri tuk menghibur dan mengembalikan semangatku. Padahal dari rautnya saja bisa ku tebak, bahwa mereka pun jauh lebih merasa tidak baik dari apa yang ku rasakan. Mereka bertiga tidak pernah meninggalkanku berjalan sendirian, meskipun hal itu mungkin bisa mereka lakukan. Toh banyak pendaki lain yang sedang berjalan dibelakang kami saat itu.

    And Finally,, setelah berjalan selama hampir 4 jam, dan kondisi fisik ku benar-benar terasa sudah terkuras. Dengan bangga dan wajah berbinar, kak Aziz berseru lantang kalau kami sudah tiba di Pelawangan Sembalun !
    Setengah berlari, aku mengejar langkah kaki kak Aziz dan kak Sahid yang sudah tiba diujung sisi tebing sebelah barat. Aku ternganga dan masih belum percaya dengan apa yang terpampang didepan mataku.
    Luar biasa indah, sungguh maha karya sempurna yang tak ada satupun makhluk di dunia ini yang mampu menyamai ciptaan-Nya. Danau Segara Anak tampak membiru nun jauh dibawah sana, diantara tebing-tebing curam dan terjal yang mengukung nya. Sementara Gunung Barujari tampak tegak dan menawan ditengah Danau.
    Air mata haru mulai berdesakan disudut mataku. Aku benar-benar telah berada disini, di punggung Sang Dewi. Hawa di Pelawangan sudah sangat berbeda, angin yang menderu benar-benar sangat jelas terdengar. Karena inilah alam liar, alamnya para petualang cuyy. Bahkan awan yang berarak pun seolah sudah sejajar dengan kaki. 

                                      Gunung Barujari ditengah Danau  Segara Anak,

    Matahari benar-benar serasa tepat berada diatas ubun-ubun, membuat kepalaku mulai pening. Kak Aziz, mengajak kami kembali melangkah sekitar 500 meter kearah selatan. Disanalah kami akan mendirikan tenda agar lebih dekat dengan mata air, dengan langkah gontai aku kembali mengikuti langkah-langkah lebar mereka. Disepanjang sisi perbukitan Pos Pelawangan Sembalun benar-benar sudah full oleh tenda para pendaki yang berjejer warna-warni, dengan aneka kulit dan wajah yang berwarna-warni pula hehe.. karena para bule mancanegara juga ada diantara para pendaki lokal. Masih ada waktu setengah hari tuk istirahat dan mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang masih ku miliki sebelum perjalanan yang sesungguhnya menuju Sang Dewi tepat pukul 02.00 dinihari.

    Dan ternyata, takdir itu menjadi penyatu sebuah ikatan yang tak pernah terlintas dalam anganku sebelumnya. Ketika akhirnya 3 laki-laki yang berasal dari belahan kota lain di negeri ini (Depok, Jawa Barat) menjadi “teman baru” kami semenjak di Pelawangan. Setelah kak Aziz, dan kedua temanku membantunya mendirikan tenda tepat disamping tenda kami. Senyuman lebar terangkai sempurna di wajahnya, mewakili ungkapan penuh terimakasih. Inilah awal pertemanan kami. Sederhana sekali bukan? dan memang begitulah sejatinya yang dilakukan para pendaki, saling membantu. Walau dari daerah yang jauh berbeda, dan terpisah jarak ribuan kilometer, dan hanya dengan perkenalan singkat, namun semua itu sangat berkesan. Karena disini, kita semua disatukan oleh alam, oleh mimpi-mimpi yang sama. Juga oleh keinginan yang sama, bisa menikmati pesona Maha Karya Sang Pencipta lebih dekat.
    Ya, karena senyuman tulus, selalu saja mampu merekatkan simpul indah bernama persahabatan.

          Menunggu moment sunset dengan mas Ardan (kaos item)

    Saat cahaya matahari mulai meredup diufuk barat, kami tidak ingin melewatkan moment indah itu begitu saja, apalagi ini akan menjadi moment senja pertama yang sangat bersejarah bagiku. Kami berjejer dipinggiran tebing sebelah barat, tepatnya diatas tebing yang seakan menjadi dinding Danau Segara Anak. Sayang sekali saat itu kabut tebal masih sempurna menyembunyikan pesona Danau disore hari. Tetapi tepat sebelum matahari benar-benar telah tenggelam kabut itu berlalu juga. :D,, kami berempat yang awalnya hanya mengandalkan kamera HP kompak mengucap syukur dan berterimakasih pada mas Ardan. karena berkat dia, akhirnya kami punya kesempatan mengabadikan kenangan Rinjani dalam jepretan kamera yang sesungguhnya. Pertemanan itu tidak hanya sebatas jalur Rinjani saja, tetapi masih tetap berlanjut hingga kini, walau kami hanya bisa saling sapa via jejaring sosial.



                                                     Moment yang kini selalu ku rindukan                                                                                                                            




      




    Saat malam kembali menyapa bumi, pijaran kembang api yang ditembakkan oleh para pendaki yang berada di Danau Segara Anak menghiasi langit malam, dan langsung disambut oleh sorak-sorai pendaki disepanjang Pos Pelawangan. Udara malam semakin menusuk, membuat badanku yang telah terbungkus jaket menggigil kedinginan.
    Dimalam itu pula kami merasa terhipnotis oleh suara mas Ardan saat melantunkan Ayat-Ayat Suci Al-Qur’an ketika dia shalat magrib berjamaah. Di bawah cahaya bulan yang sempurna menerangi alam Rinjani, dalam dinginnya hembusan angin malam, dibawah langit berbintang Pos Pelawangan. Ayat-ayat Suci itu mengalun sempurna dari bibirnya dan menelusup hingga ke jiwa kami.
    “Dan Demi Bintang ketika terbenam,
    “Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak (pula) keliru,
    “Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut keinginannya,
    “Tidak lain (Al-Qur’an itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya),” (Q.S An-Najm: 1-4).

    Usai shalat isya dan makan malam, kak Aziz meminta kami untuk segera beristirahat. Karena perjalanan tengah malam telah menanti tuk dituntaskan. Sempat terjadi keributan kecil di tendaku juga di tenda kak Aziz dkk. saat harus berkutat dengan aksi obrak-abrik semua isi carier gara-gara sarung tangan pinkyku yang ternyata ngumpet didalam Sleppingku. Hee.. padahal sudah benar-benar pasrah dan putus asa dicari.

    Dentang waktu terus bergulir. Tepat pukul 02.30 dini hari kak Aziz membangunkan kami bertiga, juga mas Ardan. Setelah selesai mengecek semua perlengkapan yang akan kami bawa (senter, air minum, cemilan ringan, juga obat-obatan) dan berdoa bersama beres, langkah-langkah kaki kami memecah keheningan malam dan mulai mencipta jejak dimalam yang dingin, bersama puluhan pendaki lain yang telah bergerak terlebih dahulu. Target kami tiba di puncak sebelum subuh, atau paling telat pukul 6 pagi lah.

    Kayu cungkring yang ku bawa sejak dari didalam hutan masih setia menemani langkah kakiku yang agak gemetar ketika melewati jalur curam dan terjal. Bahkan sempat sport jantung juga karena kak Aziz yang tepat berada didepanku sempat limbung karena kurang sempurna berpijak saat kami melewati tanjakan yang cukup curam. Ngeri karena jurang yang menganga lebar disisi jalan. Deru angin yang bergesek di pohon cemara seolah mengimbangi teriakan-teriakan saling support para pendaki yang terus bergerak menuju titik 3.736 Mdpl. Kilatan cahaya senter kami pun seolah sempurna bagaikan barisan cahaya diatas garis vertical.

    Break the limit and drink. Itulah kata-kata yang terus didengungkan oleh kak Aziz, sampai-sampai dua kata itu telah sempurnaku hafal diluar kepala. Perjalanan tengah malam memang sengaja dilakukan agar mental tidak menguap dahulu, karena medan menuju puncak yang sangat mengerikan. Dikiri-kanan jurang curam siap menikam jika terperosok apalagi salah langkah, sementara jalannya berupa pasir dan berkerikil serta mudah kroks. Sebisa mungkin aku berusaha menikmati ritmenya. Dan selama perjalanan coklat choki-choki selalu jadi cemilan paling ringan yang setia. Heee…

                         Perjalanan menuju Puncak Sang Dewi (Rinjani)


    Waktu terus bergeser, sudah 3 jam lebih berjalan, tapi puncak masih saja tak kunjung tercapai. Padahal pepatah “Takkan Lari Gunung di Kejar” begitu popular dibelahan penjuru Nusantara ini. tapi nyatanya ampun dehh, semakin didekati rasanya malah semakin menjauh. Aku mulai tak lagi sependapat dengan hal itu. hehe… Dan tak terasa sudah Pukul 04.30 Sesaat sebelum tiba di tanjakan terakhir (Letter E) yang benar-benar menguras tenaga, aku benar-benar hampir memutuskan tuk menyerah dan kembali berbalik turun, karena sudah tak sanggup melangkah. Pahaku seakan memikul beban berton-ton. Nafasku memburu, air mata pun mulai menetes dalam keremangan malam, saat cahaya bulan yang hampir sempurna purnama sempat tersaput awan. Saat itulah, adik Yusron yang tak pernah jauh dariku, seolah membagi sisa tenaga dan semangat serta kekuatan yang ia miliki. “Sebentar lagi kak Umah, lelahmu akan terbayar jika sudah sampai di puncak. Kalau kakak kembali sekarang sia-sia donk perjalanan yang sudah sejauh ini. Ayo kak semangat, tinggal sedikit lagi !” Kata-kata itu, masih terekam kuat dalam memoriku hingga saat ini.
    Bersamaan dengan hilangnya awan yang menghalangi rembulan, kerlip milyaran bintang dan lampu-lampu penduduk di desa Sembalun seakan ikut menyemangati. Bahkan beberapa pendaki yang melintasi kami dan sama sekali tak ku kenal ikut mengeluarkan ungkapan semangat. Bayangan wajah kedua orang tuaku tiba-tiba melintas diantara air mata yang masih saja turun di pipiku.
    “Allahu Akbar !” akhirnya ucapan itu kembali meluncur jua dari mulutku, membawa efek yang kurasakan sangat luar biasa ketika semangat dan tenagaku benar-benar telah down.

    “Saat rasa putus asa dan kehilangan semangat seolah menyeret diri dalam lorong gelap tak berujung, tak ada salahnya tuk memejamkan mata ku sejenak dan kembali mengingat mimpi-mimpi mu sembari berdoa. Maka setelah itu, bersiaplah tuk tersenyum menuju kemenangan.”

    Yapp,, rasa putus asa itu tak berhasil mengalahkanku. Karena akhirnyaaaaaa… aku dan adik Yusron tiba di puncak Sang Dewi tepat ketika adzan subuh berkumandang dari HP kak Aziz, dan bergema diseantero titik tertinggi Pulau Lombok. Badanku benar-benar bergetar saat seruan paling indah itu berkumandang ketika kami berada jauh diatas tanah tertinggi, tetapi terasa begitu dekat dengan Sang Pencipta.

    Begitu bergabung dengan kak Aziz dan kak Sahid yang telah lama menunggu kedatangan kami berdua tiba di puncak. Aku langsung luruh ke tanah bersamaan dengan air mataku yang benar-benar tumpah ruah disini. Tak ku hiraukan lagi kalau wajahku akhirnya terlihat kacau gara-gara debu bercampur air mata. Meski saat itu di puncak benar-benar ramai, aku hanya ingin menangis. Tangis bahagia dan penuh syukur yang seakan tak mampu ku lukiskan dengan kata-kata. Sementara ketiga temanku saling berjabat tangan dan berpelukan erat, karena akhirnya benar-benar bisa sampai di puncak dengan selamat. Meskipun ini bukan pendakian pertama kak Aziz dan adik Yusron tapi ternyata ekspresi mereka berdua sama saja seperti ekspresiku dan kak Sahid yang baru pertama kali ke puncak, :D.   

                            Alhamdulillah, Maha Suci Engkau Ya Robbi

    Setelah itu kami bergantian shalat subuh dengan bertayammum. Huiihh… benar-benar pengalaman pertama dan paling bersejarah selama hampir 26 tahun umurku. Luar biasa dapat menikmati shalat subuh diatas Puncak Sang Dewi Rinjani yang sangat tersohor di pulau kelahiranku ini, bahkan hingga ke belahan dunia. Selepas shalat subuh akhirnya mereka bertiga menjabat tanganku, erat. Saat itulah mas Ardan muncul diantara kerumunan para pendaki yang baru tiba. Jabatan dan ucapan selamat lagi-lagi meluncur untuknya, sebelum dia menunaikan shalat subuh. Dan senyuman bahagia itu, kembali terangkai sempurna di wajahnya yang memerah karena letih.
    Yess dapat tambahan teman baru lagi saat di Puncak hehe… sama seperti mas Ardan, dia pun putra Jakarta. 

    Detik-detik Menjelang Sunrise, 10 Agustus 2014


    Dan Mataharipun seakan hanya berjarak 1 cm

    Pemandangan dari puncak Sang Dewi yang berada di titik ketinggian 3.726 Mdpl, membuatku terpesona. Karena dari titik ini, semua sisi dari pulau Lombok bisa terlihat, bahkan jauh hingga pulau Bali dan Sumbawa. Dan seakan melihat bayangan dalam lukisan, Puncak Gunung Agung di Bali terlihat begitu kokoh dan menawan, seperti halnya Gunung Tambora di Bima yang terlihat berada di sisi lain.

         Panorama Danau Segara Anak dan Gunung Barujari dari Puncak Rinjani

    Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan ?” (Q.S Ar-Rahman:13)

    Ibarat buih di samudra nan luas, seperti itulah yang ku rasakan. Sungguh Maha Karya Sang Pencipta yang sempurna. Pagi benar-benar telah datang menggantikan malam, meskipun hawa di puncak tak lagi se-dingin saat malam karena teriknya sengatan matahari meski masih pagi. Angin yang berhembus pun sangat kencang, wihh aku sempat berkhayal terbang diatas hamparan awan putih yang berarak. :D,, Lagi-lagi aku amat sangat bersyukur karena sensasi nyeri pada bekas operasi usus buntu yang pernah ku lakoni 6th lalu sama sekali tidak pernah terasa sejak hari pertama kami berpetualang di alam Rinjani. Padahal sebelum petualangan ini ku lakukan, aku harus meringis berkali-kali tiap kali udara dingin menusuk tubuh menghadirkan sensasi nyeri pada bekas luka itu. 

    Hmm.. Tetapi rencana ngopi-ngopi di puncak terpaksa dicancel, karena teman mas Ardan yang membawa termos air panas belum juga tiba. Akhirnya pagi itu kami lalui lewati dengan heboh berpose hehe..

     Antara aku, 3 sahabat dan Puncak Sang Dewi (Rinjani)

                          Yepp… berpose dengan “teman baru” lagi
                                       Merekat simpul indah "Persahabatan"

    Aaaaagghhh… aku berteriak kencang, sehingga menimbulkan gema di sepanjang tebing terjal. Ini bukan mimpi lagi, karena akhirnya kami berempat benar-benar telah berdiri di sini, disebuah titik tertinggi di Pulau kelahiran ku yang telah lama ku impikan. Aku hanya cengengesan ketika ditatap sedemikian rupa oleh para pendaki yang sempat kaget karena teriakan ku. Eeekk tapi akhirnya yang lain malah ikutan teriak, sehingga suasana di Puncak semakin riuh.
    Saat sedang mengantri tuk berpoto memegang plang tulisan Puncak Sang Dewi. Tak ku sangka, kalau ternyata kami bisa bertemu lagi dengan rombongan “genk salam” yang seperti biasa sedang heboh berpose di puncak Rinjani. 

                      Berpose bareng “genk salam” yang super heboh :D



      
                                           When my dream comes true ;)


                          Eksis terus bareng teman seperjalanan mas Ardan
    Berhubung sengatan matahari semakin terik, kak Aziz mengajak kami tuk segera turun. Aku langsung bergidik ngeri melihat jalannya. Untung saja pas mendaki kami lakukan saat malam hari jadi mental masih full. Lah ini, Ya Allah. Jalan benar-benar kecil, sementara tebing curam tanpa pembatas menganga dikiri-kanan. Lututku benar-benar terasa lemas, tapi aku harus ikut mereka turun. Nggak mungkin banget aku diem di puncak, menunggu helikopter datang. Hahaha… 

                    Saat turun, seperti bermain seluncur dimedan berpasir

    Dengan langkah gemetaran aku berjalan pelan dibelakang kak Aziz. Leter E sudah berhasil kami lewati, pelan namun pasti aku sudah mulai terbiasa menikmati ritme perjalanan. Dari kejauhan rombongan para pendaki yang bergerak naik terlihat bagaikan barisan semut. Dan diantara mereka salah seorang teman mas Ardan terlihat tertatih-tatih menapaki jalur pendakian. Setelah kami benar-benar tak berjarak, mas Ardan kembali berbalik menemaninya ke Puncak. Keputusan seorang teman yang sangat baik ehee..

    Aku masih saja mengekor dibelakang adik Yusron, sedangkan kak Aziz dan kak Sahid sudah meluncur jauh turun ke bawah. Hingga Akhirnya, dia mengajakku berlari. Awalnya aku kagok karena masih saja membayangkan hal yang tidak-tidak, namun melihat aksi adik Yusron yang tampak asyik meluncur akhirnya aku tertantang juga. Dan memang seru adanya hehe… yang jelas tetap fokus dan menjaga keseimbangan. Aku sempat terjatuh beberapa kali karena terpeleset, sehingga celana dan jaket yang ku kenakan seperti dapat olesan bumbu. Untung saja jatuhnya cuma terduduk ditempat, nggak sampai berguling ke pinggir jurang. Tiap kali salah satu dari kami jatuh terduduk, tawa itu selalu berderai. Seolah kepayahan saat mendaki malam itu telah terbayar.
    Lelah berlari, aku dan adik Yusron, lantas hanya berjalan santai. kak Sahid, dan kak Aziz akhirnya bisa kami susul. Terkadang kami duduk berlama-lama di tepian jurang menikmati pesona alam pagi dari punggung Rinjani, juga berpoto-poto dengan latar Danau Segara Anak.

       
    Ciptaan Mu sungguh indah Tuhan                            

        

    Disepanjang jalur turun, tepatnya disetiap sisi tebing. Bunga edelwais yang melegenda itu bergoyang indah saat tertiup angin. adik Yusron sempat bertanya apakah aku masih memiliki keinginan tuk membawa bunga itu turun, melengkapi koleksi bunga edelwais pemberian kak Aziz satu tahun yang lalu. Sesaat aku menatap rimbunan bunga nan cantik itu, tetap bertahan bahkan bisa hidup dengan baik diatas tanah gersang dan berbatu. Aku menggeleng kuat, “Tidak Yu, tempatnya memang disini, dan dia akan jauh lebih indah jika tetap berada disini” Ucap ku akhirnya. Wajah itu berbinar, karena setuju dengan jawabanku. Ada sedikit sesal di hati, kenapa dulu aku sangat berharap dan terus-terusan berpesan pada kak Aziz agar dibawakan  sang bunga abadi.

    Disepertiga perjalanan, kak Aziz lagi-lagi melesat mendahului kami. sementara aku masih terseok-seok dibelakang, terkadang sembari saling jaili dengan kedua temanku. Begitu tiba di tenda kami di pos Pelawangan dan setelah istirahat sebentar, pembagian tugas langsung terlaksana, adik Yusron tetap bertugas mengambil air. Sementara aku dan kak Sahid berbenah isi carier sedangkan kak Aziz selalu kebagian jatah memasak. Hehe… soalnya keahlian ku memasak saat di kos benar-benar tak bisa terlaksana di alam Rinjani, paling kalau nggak matang dengan sempurna malah terlalu lembek. Hahaha… 
    Perjalanan menuju Puncak Sang Dewi (Rinjani) telah terwujud sempurna, selanjutnya perjalanan 15 Km melewati jalur full tebing-tebing curam dan terjal. Perjalanan di hari ketiga menuju Danau Segara Anak yang eksotis telah menanti. 

    "Perjalanan menuju Puncak Sang Dewi (Rinjani) telah mengajarkanku banyak hal, tentang arti sebuah persahabatan, arti indahnya sebuah mimpi yang disertai dengan keyakinan dan kekuatan tekad yang tak mudah menyerah. Tak ada yang tak mungkin jika Dia (Sang Khalik) telah berkehendak." 
    Thanks you so much brother,, karena telah menemani langkah kakiku dan menghantarku menuju titik yang telah lama ku impikan.