Siap-siap berangkat ke Pelawangan, ada "genk salam" dibelakang
Padahal masih pagi, tetapi sengatan matahari sangat terasa panas. Soalnya pepohonan sangat jarang. Selesai berdoa bersama, perjalanan di hari kedua mulai berlanjut, dan kali ini medannya sudah mulai menanjak terus hingga ke Pelawangan. Selama perjalanan kak Aziz tak henti-hentinya menasehati ku supaya tidak terlalu banyak minum supaya perut tidak terasa berat saat berjalan. Sehingga selama perjalanan berpetualang di alam Rinjani, aku hanya minum menggunakan tutup botol mineral yang kami bawa. Maklum, hanya aku satu-satu nya yang belum pernah menjejakkan kaki di Rinjani, sekaligus cewek satu-satunya dalam rombongan ini. Begitu juga saat istirahat, kami istirahat paling lama sekitar 5 menit, itupun nggak diperbolehkan duduk.
Shelter pos 3
Meskipun hawa terasa dingin, namun sengatan matahari tetap saja terasa membakar kulit. Darikejauhan debu yang beterbangan sangat jelas terlihat, apalagi saat itu memang sudah memasuki musim kemarau. Terlebih lagi karena ada acara Lomba Maraton Rinjani yang diramaikan oleh para peserta yang tidak hanya merupakan peserta lokal, tetapi para peserta dari berbagai negara juga ikut meramaikan acara prestisius tersebut. Melihat bukit-bukit terjal didepan mata, sempat membuat nyaliku ciut. Khawatir kalau-kalau insiden seperti di bukit pertama terulang lagi. Terik matahari terasa sangat menyengat, maklum saja pepohonan sudah sangat jarang. Sehingga kami memutuskan tuk segera bergegas melanjutkan perjalanan. Kembali menjadi bukit-bukit terjal, yang terkadang membuatku sesekali minta istirahat. Namun, kak Aziz dengan sabar selalu memintaku tuk terus berjalan, meski pelan-pelan.
Deru angin laksana tumpahan hujan deras sangat jelas
terdengar, saat kami mulai melewati perbukitan terjal yang dipenuhi oleh pohon
cemara yang menjulang tinggi. Itulah kawasan Cemara Siu (cemara seribu) meski
saat ini kondisinya tak se-lebat dahulu, seperti yang diungkapkan oleh kak
Aziz. Dan konon, menurut para tetua di desaku jika sudah memasuki kawasan
cemara siu kita benar-benar harus membersihkan niat kita. Sebisa mungkin
menjaga hati dan lisan dari niat ataupun perkataan yang tidak baik.
Akhirnya bisa berselonjor, meski cuma beberapa menit
Saat istirahat di
kawasan cemara siu, kak Sahid terpaksa melepas sepatu yang ia kenakan sejak
dari pos 3 karena salah satu jari kaki nya lecet. Dia akhirnya memutuskan tuk
menggunakan sandal jepit, sementara aku masih setia memilih tanpa ber-alas
kaki. Saat itu aku tersadar kalau tak ada satu pun diantara kami berempat yang
membawa obat merah, namun syukurlah kak Sahid masih bisa menuntaskan perjalanan
hingga ke puncak Sang Dewi. Bahkan dia hampir melupakan lukanya saat kami
bercengkrama dengan Danau Segara Anak dihari berikutnya.
Setelah meninggalkan cemara siu, aku mulai nyinyir bertanya
tentang keberadaan Pelawangan. Berapa lama lagi jarak yang harus kami tempuh,
bahkan meminta waktu tuk istirahat lagi. Dengan sabar kak Aziz menjelaskan
padaku kalau tak lama lagi kami akan sampai. Aku manyun, karena sudah mulai hafal dengan ungkapan nya.
Bilangnya udah dekat atau tinggal satu bukit lagi, tapi kenyataannya beeuhhhh
masih jauhhhh cuy. Tapi mereka bertiga malah tergelak, seolah ekspresiku
menjadi hiburan bagi mereka. Apalagi saat itu wajahku penuh cemong oleh debu, masker yang ku bawa sama sekali tidak ku pakai.
Karena alih-alih terlindung debu, yang ada aku malah merasa kesulitan bernafas.
Sehingga maskerku hanya terikat manis di pergelangan tangan ku. Sempurna !
adik Yusron puas mengolok-olok tampilanku saat itu. Namun aku malah sangat
menikmatinya, karena dengan begitu perhatianku dengan bukit-bukit yang tak ada
habisnya menjadi ter-alihkan.
“Jangan terlalu banyak minum!”
“Jangan terlalu lama berhenti !” adalah kata-kata larangan
yang selalu saja meluncur dari bibir kak Aziz, tiap kali langkah kakiku mulai
tersendat. Ah jika saja perjalanan kali ini bukan menuju tempat yang selama ini
ku impikan, mungkin saja kata-katanya akan ku abaikan. Ehee.. Tapi aku tak mau
mengambil resiko. Bukankah beban yang mereka bertiga bawa jauh lebih berat dari
yang ku bawa? Aku berusaha menuruti kata-kata kak Aziz, meski terkadang
diam-diam ikut mencuri kesempatan tuk berhenti bareng adik Yusron yang juga
terlihat kepayahan. :D
Kakiku yang tidak beralas tampak cemong oleh debu yang
menempel, entahla bagaimana dengan wajahku saat itu. Sudah tak ku pedulikan
lagi, yang ada di otakku saat itu hanya ingin segera tiba di Pelawangan.
Sehingga bisa segera berbaring, dan minum sepuas hati, syukur-syukur bisa mandi
di mata air yang ada disana.
“Setelah ini jangan melihat keatas, apalagi menengok
kebelakang Cumeh. Kamu fokus saja pada langkah kaki mu, karena saat ini kita
sudah sampai di BUKIT PENYESALAN.” Seru kak Aziz saat itu, padahal tanpa
diminta pun aku sudah memutuskan tuk tidak melakukan kedua hal itu, ehee..
Yup.. Bukit Penyesalan adalah bukit yang telah siap menyambut
kedatangan kami pada pendakian dihari kedua. Walaupun boleh dikatakan jalurnya
lebih landai jika dibandingkan dengan Bukit Penyiksaan, tapi jarak tempuhnya
huuhhh sangat lah panjang. Kalau melihat keatas (jalur yang akan dilewati)
dengan bukit-bukit terjal yang menanti, semangat langsung ciut, kalau mau
kembali lagi sudah sangat jauh. Itulah sebabnya sehingga dikatakan Bukit
Penyesalan. Tetapi pemandangannya benar-benar sangat luar biasa, meski dikiri-kanan tebing-tebing curam tak memberikan ampunan jika salah berpijak.
Jalan Full tanjakan dan Debu
Gerah, dan letih mulai mendera, saat bukit yang kami lewati
terus saja menanjak, seakan-akan nggak ada habisnya. Aku malas melihat keatas
karena hanya akan membuat semangat ku menguap. Namun aku sangat beruntung,
karena ketiga temanku yang notabene lelaki semua selalu punya cara tersendiri
tuk menghibur dan mengembalikan semangatku. Padahal dari rautnya saja bisa ku
tebak, bahwa mereka pun jauh lebih merasa tidak baik dari apa yang ku rasakan. Mereka bertiga tidak pernah meninggalkanku berjalan
sendirian, meskipun hal itu mungkin bisa mereka lakukan. Toh banyak pendaki
lain yang sedang berjalan dibelakang kami saat itu.
And Finally,, setelah berjalan selama hampir 4 jam, dan kondisi
fisik ku benar-benar terasa sudah terkuras. Dengan bangga dan wajah berbinar,
kak Aziz berseru lantang kalau kami sudah tiba di Pelawangan Sembalun !
Setengah berlari, aku mengejar langkah kaki kak Aziz dan kak
Sahid yang sudah tiba diujung sisi tebing sebelah barat. Aku ternganga dan
masih belum percaya dengan apa yang terpampang didepan mataku.
Luar biasa indah, sungguh maha karya sempurna yang tak ada
satupun makhluk di dunia ini yang mampu menyamai ciptaan-Nya. Danau Segara Anak
tampak membiru nun jauh dibawah sana, diantara tebing-tebing curam dan terjal
yang mengukung nya. Sementara Gunung Barujari tampak tegak dan menawan ditengah
Danau.
Air mata haru mulai berdesakan disudut mataku. Aku
benar-benar telah berada disini, di punggung Sang Dewi. Hawa di Pelawangan
sudah sangat berbeda, angin yang menderu benar-benar sangat jelas terdengar.
Karena inilah alam liar, alamnya para petualang cuyy. Bahkan awan yang berarak
pun seolah sudah sejajar dengan kaki.
Gunung Barujari ditengah Danau Segara Anak,
Matahari benar-benar
serasa tepat berada diatas ubun-ubun, membuat kepalaku mulai pening. Kak Aziz,
mengajak kami kembali melangkah sekitar 500 meter kearah selatan. Disanalah
kami akan mendirikan tenda agar lebih dekat dengan mata air, dengan langkah gontai
aku kembali mengikuti langkah-langkah lebar mereka. Disepanjang sisi perbukitan
Pos Pelawangan Sembalun benar-benar sudah full oleh tenda para pendaki yang
berjejer warna-warni, dengan aneka kulit dan wajah yang berwarna-warni pula
hehe.. karena para bule mancanegara juga ada diantara para pendaki lokal. Masih ada waktu
setengah hari tuk istirahat dan mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang masih ku
miliki sebelum perjalanan yang sesungguhnya menuju Sang Dewi tepat pukul 02.00
dinihari.
Dan ternyata, takdir itu menjadi
penyatu sebuah ikatan yang tak pernah terlintas dalam anganku sebelumnya.
Ketika akhirnya 3 laki-laki yang berasal dari belahan kota lain di negeri ini (Depok,
Jawa Barat) menjadi “teman baru” kami semenjak di Pelawangan. Setelah kak Aziz,
dan kedua temanku membantunya mendirikan tenda tepat disamping tenda kami.
Senyuman lebar terangkai sempurna di wajahnya, mewakili
ungkapan penuh terimakasih. Inilah awal pertemanan kami. Sederhana sekali
bukan? dan memang begitulah sejatinya yang dilakukan para pendaki, saling
membantu. Walau dari daerah yang jauh berbeda, dan terpisah jarak ribuan
kilometer, dan hanya dengan perkenalan singkat, namun semua itu sangat
berkesan. Karena disini, kita semua disatukan oleh alam, oleh mimpi-mimpi yang
sama. Juga oleh keinginan yang sama, bisa menikmati pesona Maha Karya Sang
Pencipta lebih dekat.
Ya, karena senyuman
tulus, selalu saja mampu merekatkan simpul indah bernama persahabatan.
Menunggu moment sunset dengan mas Ardan (kaos item)
Saat cahaya matahari
mulai meredup diufuk barat, kami tidak ingin melewatkan moment indah itu begitu
saja, apalagi ini akan menjadi moment senja pertama yang sangat bersejarah bagiku. Kami berjejer dipinggiran tebing sebelah barat, tepatnya diatas tebing yang
seakan menjadi dinding Danau Segara Anak. Sayang sekali saat itu kabut tebal
masih sempurna menyembunyikan pesona Danau disore hari. Tetapi tepat sebelum
matahari benar-benar telah tenggelam kabut itu berlalu juga. :D,, kami berempat
yang awalnya hanya mengandalkan kamera HP kompak mengucap syukur dan
berterimakasih pada mas Ardan. karena berkat dia, akhirnya kami punya kesempatan
mengabadikan kenangan Rinjani dalam jepretan kamera yang sesungguhnya. Pertemanan itu tidak
hanya sebatas jalur Rinjani saja, tetapi masih tetap berlanjut hingga kini,
walau kami hanya bisa saling sapa via jejaring sosial.
Moment yang kini selalu ku rindukan
Saat malam kembali
menyapa bumi, pijaran kembang api yang ditembakkan oleh para pendaki yang
berada di Danau Segara Anak menghiasi langit malam, dan langsung disambut oleh
sorak-sorai pendaki disepanjang Pos Pelawangan. Udara malam semakin menusuk,
membuat badanku yang telah terbungkus jaket menggigil kedinginan.
Dimalam itu pula
kami merasa terhipnotis oleh suara mas Ardan saat melantunkan Ayat-Ayat Suci
Al-Qur’an ketika dia shalat magrib berjamaah. Di bawah cahaya bulan yang
sempurna menerangi alam Rinjani, dalam dinginnya hembusan angin malam, dibawah
langit berbintang Pos Pelawangan. Ayat-ayat Suci itu mengalun sempurna dari
bibirnya dan menelusup hingga ke jiwa kami.
“Dan Demi Bintang ketika terbenam,
“Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak (pula)
keliru,
“Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an)
menurut keinginannya,
“Tidak lain (Al-Qur’an itu) adalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya),” (Q.S
An-Najm: 1-4).
Usai shalat isya dan
makan malam, kak Aziz meminta kami untuk segera beristirahat. Karena perjalanan
tengah malam telah menanti tuk dituntaskan. Sempat terjadi keributan kecil di
tendaku juga di tenda kak Aziz dkk. saat harus berkutat dengan aksi obrak-abrik semua isi carier
gara-gara sarung tangan pinkyku yang ternyata ngumpet didalam Sleppingku.
Hee.. padahal sudah benar-benar pasrah dan putus asa dicari.
Dentang waktu terus
bergulir. Tepat pukul 02.30 dini hari kak Aziz membangunkan kami bertiga, juga
mas Ardan. Setelah selesai mengecek semua perlengkapan yang akan kami bawa (senter, air minum, cemilan ringan, juga obat-obatan) dan
berdoa bersama beres, langkah-langkah kaki kami memecah keheningan malam dan mulai
mencipta jejak dimalam yang dingin, bersama puluhan pendaki lain yang telah
bergerak terlebih dahulu. Target kami tiba di puncak sebelum subuh, atau paling
telat pukul 6 pagi lah.
Kayu cungkring yang
ku bawa sejak dari didalam hutan masih setia menemani langkah kakiku yang agak
gemetar ketika melewati jalur curam dan terjal. Bahkan sempat sport jantung
juga karena kak Aziz yang tepat berada didepanku sempat limbung karena kurang
sempurna berpijak saat kami melewati tanjakan yang cukup curam. Ngeri karena
jurang yang menganga lebar disisi jalan. Deru angin yang
bergesek di pohon cemara seolah mengimbangi teriakan-teriakan saling support
para pendaki yang terus bergerak menuju titik 3.736 Mdpl. Kilatan cahaya senter
kami pun seolah sempurna bagaikan barisan cahaya diatas garis vertical.
Break the limit and
drink. Itulah kata-kata yang terus didengungkan oleh kak Aziz, sampai-sampai
dua kata itu telah sempurnaku hafal diluar kepala. Perjalanan tengah malam memang
sengaja dilakukan agar mental tidak menguap dahulu, karena medan menuju puncak
yang sangat mengerikan. Dikiri-kanan jurang curam siap menikam jika terperosok
apalagi salah langkah, sementara jalannya berupa pasir dan berkerikil serta
mudah kroks. Sebisa mungkin aku berusaha menikmati ritmenya. Dan selama
perjalanan coklat choki-choki selalu jadi cemilan paling ringan yang setia.
Heee…
Perjalanan menuju Puncak Sang Dewi (Rinjani)
Waktu terus
bergeser, sudah 3 jam lebih berjalan, tapi puncak masih saja tak kunjung
tercapai. Padahal pepatah “Takkan Lari
Gunung di Kejar” begitu popular dibelahan penjuru Nusantara ini. tapi
nyatanya ampun dehh, semakin didekati rasanya malah semakin menjauh. Aku mulai
tak lagi sependapat dengan hal itu. hehe… Dan tak terasa sudah Pukul 04.30 Sesaat
sebelum tiba di tanjakan terakhir (Letter E) yang benar-benar menguras tenaga,
aku benar-benar hampir memutuskan tuk menyerah dan kembali berbalik turun,
karena sudah tak sanggup melangkah. Pahaku seakan memikul beban berton-ton. Nafasku memburu, air mata pun mulai menetes dalam keremangan malam, saat cahaya
bulan yang hampir sempurna purnama sempat tersaput awan. Saat itulah, adik
Yusron yang tak pernah jauh dariku, seolah membagi sisa tenaga dan semangat serta kekuatan yang ia miliki. “Sebentar lagi kak Umah, lelahmu akan terbayar jika sudah sampai di puncak. Kalau kakak kembali sekarang sia-sia donk perjalanan yang sudah sejauh ini. Ayo kak semangat, tinggal sedikit lagi !” Kata-kata itu, masih terekam kuat dalam memoriku hingga saat ini.
Bersamaan
dengan hilangnya awan yang menghalangi rembulan, kerlip milyaran bintang dan
lampu-lampu penduduk di desa Sembalun seakan ikut menyemangati. Bahkan
beberapa pendaki yang melintasi kami dan sama sekali tak ku kenal ikut
mengeluarkan ungkapan semangat. Bayangan wajah kedua
orang tuaku tiba-tiba melintas diantara air mata yang masih saja turun di pipiku.
“Allahu Akbar !” akhirnya ucapan itu kembali meluncur jua dari mulutku,
membawa efek yang kurasakan sangat luar biasa ketika semangat dan tenagaku
benar-benar telah down.
“Saat rasa putus asa dan kehilangan semangat seolah
menyeret diri dalam lorong gelap tak berujung, tak ada salahnya tuk memejamkan
mata ku sejenak dan kembali mengingat mimpi-mimpi mu sembari berdoa. Maka
setelah itu, bersiaplah tuk tersenyum menuju kemenangan.”
Yapp,, rasa putus
asa itu tak berhasil mengalahkanku. Karena akhirnyaaaaaa… aku dan adik Yusron
tiba di puncak Sang Dewi tepat ketika adzan subuh berkumandang dari HP kak
Aziz, dan bergema diseantero titik tertinggi Pulau Lombok. Badanku benar-benar
bergetar saat seruan paling indah itu berkumandang ketika kami berada jauh
diatas tanah tertinggi, tetapi terasa begitu dekat dengan Sang Pencipta.
Begitu bergabung dengan kak Aziz dan kak
Sahid yang telah lama menunggu kedatangan kami berdua tiba di puncak. Aku langsung luruh ke tanah bersamaan dengan air mataku yang benar-benar tumpah ruah disini. Tak ku hiraukan lagi kalau wajahku
akhirnya terlihat kacau gara-gara debu bercampur air mata. Meski saat itu
di puncak benar-benar ramai, aku hanya ingin menangis. Tangis bahagia dan penuh
syukur yang seakan tak mampu ku lukiskan dengan kata-kata. Sementara ketiga
temanku saling berjabat tangan dan berpelukan erat, karena akhirnya
benar-benar bisa sampai di puncak dengan selamat. Meskipun ini bukan pendakian
pertama kak Aziz dan adik Yusron tapi ternyata ekspresi mereka berdua sama saja seperti ekspresiku dan kak Sahid yang baru pertama kali ke puncak, :D.
Alhamdulillah, Maha Suci Engkau Ya Robbi
Setelah itu kami
bergantian shalat subuh dengan bertayammum. Huiihh… benar-benar pengalaman
pertama dan paling bersejarah selama hampir 26 tahun umurku. Luar biasa dapat
menikmati shalat subuh diatas Puncak Sang Dewi Rinjani yang sangat tersohor di pulau
kelahiranku ini, bahkan hingga ke belahan dunia. Selepas shalat subuh
akhirnya mereka bertiga menjabat tanganku, erat. Saat itulah mas Ardan muncul
diantara kerumunan para pendaki yang baru tiba. Jabatan dan ucapan selamat
lagi-lagi meluncur untuknya, sebelum dia menunaikan shalat subuh. Dan senyuman bahagia itu,
kembali terangkai sempurna di wajahnya yang memerah karena letih.
Yess dapat tambahan
teman baru lagi saat di Puncak hehe… sama seperti mas Ardan, dia pun putra
Jakarta.
Detik-detik Menjelang Sunrise, 10 Agustus 2014
Dan Mataharipun seakan hanya berjarak 1 cm
Pemandangan dari
puncak Sang Dewi yang berada di titik ketinggian 3.726 Mdpl, membuatku
terpesona. Karena dari titik ini, semua sisi dari pulau Lombok bisa terlihat,
bahkan jauh hingga pulau Bali dan Sumbawa. Dan seakan melihat bayangan dalam
lukisan, Puncak Gunung Agung di Bali terlihat begitu kokoh dan menawan, seperti
halnya Gunung Tambora di Bima yang terlihat berada di sisi lain.
Panorama Danau
Segara Anak dan Gunung Barujari dari Puncak Rinjani
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu
dustakan ?” (Q.S Ar-Rahman:13)
Ibarat buih di
samudra nan luas, seperti itulah yang ku rasakan. Sungguh Maha Karya Sang
Pencipta yang sempurna. Pagi benar-benar telah datang menggantikan malam,
meskipun hawa di puncak tak lagi se-dingin saat malam karena teriknya sengatan
matahari meski masih pagi. Angin yang berhembus pun sangat kencang, wihh aku
sempat berkhayal terbang diatas hamparan awan putih yang berarak. :D,, Lagi-lagi aku amat sangat bersyukur karena sensasi nyeri pada bekas operasi usus buntu yang pernah ku lakoni 6th lalu sama sekali tidak pernah terasa sejak hari pertama kami berpetualang di alam Rinjani. Padahal sebelum petualangan ini ku lakukan, aku harus meringis berkali-kali tiap kali udara dingin menusuk tubuh menghadirkan sensasi nyeri pada bekas luka itu.
Hmm.. Tetapi rencana ngopi-ngopi
di puncak terpaksa dicancel, karena teman mas Ardan yang membawa termos air
panas belum juga tiba. Akhirnya pagi itu kami lalui lewati dengan heboh berpose
hehe..
Antara aku, 3 sahabat dan Puncak Sang Dewi
(Rinjani)
Yepp… berpose dengan
“teman baru” lagi
Merekat simpul indah "Persahabatan"
Aaaaagghhh… aku
berteriak kencang, sehingga menimbulkan gema di sepanjang tebing terjal. Ini
bukan mimpi lagi, karena akhirnya kami berempat benar-benar telah berdiri di
sini, disebuah titik tertinggi di Pulau kelahiran ku yang telah lama ku
impikan. Aku hanya cengengesan ketika ditatap sedemikian rupa oleh para pendaki
yang sempat kaget karena teriakan ku. Eeekk tapi akhirnya yang lain malah
ikutan teriak, sehingga suasana di Puncak semakin riuh.
Saat sedang mengantri
tuk berpoto memegang plang tulisan Puncak Sang Dewi. Tak ku sangka, kalau
ternyata kami bisa bertemu lagi dengan rombongan “genk salam” yang seperti
biasa sedang heboh berpose di puncak Rinjani.
Berpose bareng “genk
salam” yang super heboh :D
When my dream comes true ;)
Eksis terus bareng
teman seperjalanan mas Ardan
Berhubung sengatan
matahari semakin terik, kak Aziz mengajak kami tuk segera turun. Aku langsung
bergidik ngeri melihat jalannya. Untung saja pas mendaki kami lakukan saat
malam hari jadi mental masih full. Lah ini, Ya Allah. Jalan benar-benar kecil, sementara tebing curam tanpa pembatas menganga dikiri-kanan. Lututku benar-benar
terasa lemas, tapi aku harus ikut mereka turun. Nggak mungkin banget aku diem
di puncak, menunggu helikopter datang. Hahaha…
Saat turun, seperti
bermain seluncur dimedan berpasir
Dengan langkah
gemetaran aku berjalan pelan dibelakang kak Aziz. Leter E sudah berhasil kami
lewati, pelan namun pasti aku sudah mulai terbiasa menikmati ritme perjalanan.
Dari kejauhan rombongan para pendaki yang bergerak naik terlihat bagaikan
barisan semut. Dan diantara mereka salah seorang teman mas Ardan terlihat
tertatih-tatih menapaki jalur pendakian. Setelah kami benar-benar tak berjarak,
mas Ardan kembali berbalik menemaninya ke Puncak. Keputusan seorang teman yang
sangat baik ehee..
Aku masih saja mengekor
dibelakang adik Yusron, sedangkan kak Aziz dan kak Sahid sudah meluncur jauh
turun ke bawah. Hingga Akhirnya, dia mengajakku berlari. Awalnya aku kagok
karena masih saja membayangkan hal yang tidak-tidak, namun melihat aksi adik
Yusron yang tampak asyik meluncur akhirnya aku tertantang juga. Dan memang seru
adanya hehe… yang jelas tetap fokus dan menjaga keseimbangan. Aku sempat
terjatuh beberapa kali karena terpeleset, sehingga celana dan jaket yang ku
kenakan seperti dapat olesan bumbu. Untung saja jatuhnya cuma terduduk
ditempat, nggak sampai berguling ke pinggir jurang. Tiap kali salah satu dari kami jatuh terduduk, tawa itu selalu berderai. Seolah kepayahan saat mendaki malam itu telah terbayar.
Lelah berlari, aku
dan adik Yusron, lantas hanya berjalan santai. kak Sahid, dan kak Aziz akhirnya
bisa kami susul. Terkadang kami duduk berlama-lama di tepian jurang menikmati
pesona alam pagi dari punggung Rinjani, juga berpoto-poto dengan latar Danau
Segara Anak.
Ciptaan Mu sungguh indah Tuhan
Disepanjang jalur
turun, tepatnya disetiap sisi tebing. Bunga edelwais yang melegenda itu bergoyang
indah saat tertiup angin. adik Yusron sempat bertanya apakah aku masih memiliki
keinginan tuk membawa bunga itu turun, melengkapi koleksi bunga edelwais
pemberian kak Aziz satu tahun yang lalu. Sesaat aku menatap rimbunan bunga nan
cantik itu, tetap bertahan bahkan bisa hidup dengan baik diatas tanah gersang
dan berbatu. Aku menggeleng kuat, “Tidak Yu, tempatnya memang disini, dan dia
akan jauh lebih indah jika tetap berada disini” Ucap ku akhirnya. Wajah itu berbinar, karena setuju dengan jawabanku. Ada sedikit sesal di hati,
kenapa dulu aku sangat berharap dan terus-terusan berpesan pada kak Aziz agar
dibawakan sang bunga abadi.
Disepertiga
perjalanan, kak Aziz lagi-lagi melesat mendahului kami. sementara aku masih
terseok-seok dibelakang, terkadang sembari saling jaili dengan kedua temanku. Begitu
tiba di tenda kami di pos Pelawangan dan setelah istirahat sebentar, pembagian
tugas langsung terlaksana, adik Yusron tetap bertugas mengambil air. Sementara
aku dan kak Sahid berbenah isi carier sedangkan kak Aziz selalu kebagian jatah
memasak. Hehe… soalnya keahlian ku memasak saat di kos benar-benar tak bisa
terlaksana di alam Rinjani, paling kalau nggak matang dengan sempurna malah
terlalu lembek. Hahaha…
Perjalanan menuju
Puncak Sang Dewi (Rinjani) telah terwujud sempurna, selanjutnya perjalanan 15
Km melewati jalur full tebing-tebing curam dan terjal. Perjalanan
di hari ketiga menuju Danau Segara Anak yang eksotis telah menanti.
"Perjalanan menuju Puncak Sang Dewi (Rinjani) telah mengajarkanku banyak hal, tentang arti sebuah persahabatan, arti indahnya sebuah mimpi yang disertai dengan keyakinan dan kekuatan tekad yang tak mudah menyerah. Tak ada yang tak mungkin jika Dia (Sang Khalik) telah berkehendak."
Thanks you so much brother,, karena telah menemani langkah kakiku dan menghantarku menuju titik yang telah lama ku impikan.
|